Setelah pergantian milenium pada tahun 2000,
teknologi informasi dan komunikasi berkembang dengan sangat pesat di seluruh
dunia. Otomatisasi dan penggunaan alat elektronik dalam kehidupan manusia
menjadi sesuatu yang lumrah dijumpai hingga saat ini. Teknologi dipandang
sebagai sesuatu yang sangat membantu manusia dalam menghadapi permasalahan yang
dihadapi sehingga tidak semua permasalahan harus menggunakan tenaga manusia
sepenuhnya, terlebih saat ini dunia sedang memasuki tahapan Revolusi Industri
4.0 yang menitikberatkan pada kemampuan kecerdasan buatan (artificial intelligence), sistem penyimpanan
data berbasis awan, dan internet of
things (IoT). Tentu dengan bertambahnya kemampuan yang dapat
dilakukan oleh teknologi yang dikembangkan manusia, maka pekerjaan-pekerjaan
yang sebelumnya harus dilakukan secara manual oleh manusia dapat digantikan
oleh komputer sehingga energi manusia dapat dialokasikan kepada hal-hal lain
yang lebih produktif.
Dalam
dunia perkotaan, manfaat yang dapat terasa dari berkembangnya teknologi adalah
meningkatnya kemudahan para pemangku kebijakan dalam mengatur suatu kota.
Kombinasi dari pengelolaan perkotaan yang dikombinasikan dengan penggunaan
teknologi dalam segala aspek memunculkan suatu istilah baru di dunia
perencanaan dan manajemen kota yang bernama kota pintar (smart
city). Keberadaan smart city ini
dapat memudahkan pemerintah sekaligus para warga yang menghuni kota tersebut :
pemerintah dapat memastikan keberjalanan aktivitas perkotaan dengan lebih mudah
dan mampu memberikan layanan publik dengan lebih cepat dan prima, sedangkan
masyarakat semakin dimudahkan dengan akses layanan publik yang semakin prima,
efisien, dan ringkas. Pada akhirnya, penerapan teknologi secara berkelanjutan
dalam suatu manajemen kota dapat menimbulkan dampak positif bagi kedua belah
pihak : dalam hal ini pemerintah dan masyarakatnya.
Salah
satu manfaat dari perkembangan pesat suatu teknologi adalah semakin mudahnya
pemerintah dalam menciptakan kota tanggap bencana (resilient
city). Sebagaimana diketahui bersama, setiap kota yang berada di dunia ini
memiliki potensi bencananya masing-masing, mulai dari banjir, gempa, tsunami,
badai tropis, dan sebagainya. Masyarakat tidak dapat menghindar dari
ancaman-ancaman bencana yang terus mengintai. Namun, masyarakat perlu diajarkan
untuk dapat hidup beriringan dengan ancaman bencana yang selalu ada di
sekeliling mereka. Penanaman nilai-nilai terkait kesadaran akan ancaman bencana
di sekeliling mereka dapat berupa pendidikan rutin akan ancaman bencana dan
juga melalui upaya-upaya mitigasi / peringatan apabila bencana tersebut
terjadi. Upaya tersebut merupakan pendekatan mitigasi nonstruktural dalam
mengurangi dampak bencana yang ada karena menekankan pada pengelolaan SDM
ketimbang membangun fasilitas fisik sebagai pelindung dari bencana.
Penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam upaya membangun kota tanggap
bencana termasuk dalam salah satu poin dari City Resilience Framework yang
dikeluarkan oleh The Rockefeller Foundation yaitu reliable
mobility and communications. Maksud dari poin ini adalah penggunaan TIK
dapat sangat berperan dalam meningkatkan penyebaran informasi dan memperlancar
komunikasi para penghuni dan pemangku kebijakan perkotaan. Kemudahan dalam
melakukan penyebaran informasi dan komunikasi ini sangat berdampak positif
apabila terjadi suatu keadaan darurat di kota tersebut. Pemerintah dapat
menginstruksikan para warganya untuk mengevakuasi diri dalam waktu singkat
karena pemerintah memiliki akses untuk dapat terhubung langsung dengan
perangkat elektronik seperti gawai yang dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat
juga dapat mengakses informasi terkait bencana yang terjadi dengan lebih cepat,
mudah, dan efisien sehingga dapat memiliki lebih banyak informasi yang dapat dipertimbangkan
saat akan mengevakuasi diri. Selain itu, cepatnya penyebaran informasi juga
dapat menambah waktu bagi masyarakat untuk mengevakuasi diri sehingga potensi
korban yang dapat jatuh semakin berkurang.
Salah
satu bentuk aplikasi penggunaan TIK dalam menciptakan kota tanggap bencana
adalah pada saat gempa bumi berkekuatan 9.0 magnitudo mengguncang Jepang pada
tahun 2011. Saat itu, pemerintah mengirimkan pesan singkat kepada masyarakat
setempat melalui seluruh operator jaringan telekomunikasi agar mereka dapat
segera menyelamatkan diri dari bahaya gempa bumi yang diikuti dengan tsunami.
Selain itu, peringatan gempa juga langsung muncul di seluruh tayangan televisi
nasional Jepang sehingga masyarakat mendapatkan gambaran informasi secara utuh
dan dapat mengambil tindakan rasional untuk menyelamatkan diri mereka.
Pada
akhirnya, penerapan TIK dalam manajemen suatu kota dapat berperan untuk
menciptakan suatu kota menjadi kota yang tanggap bencana. Kota yang tanggap
akan bencana dapat meminimalisasi potensi jatuhnya korban jiwa sehingga
kehidupan di kota tersebut dapat berjalan dengan lebih berkelanjutan.